Selasa, 15 Januari 2013

Jembatan Purba Ini Usianya Lebih dari 1 Juta Tahun

Ada sebuah jembatan yang disebut Adam Bridge, atau dikenal juga dengan Rama Bridge penuh misteri. Alasannya, karena umur jembatan ini diperkirakan lebih dari 1 juta tahun.

Letak Adam Bridge sepanjang 30 Km ini menghubungkan antara Manand Island (Srilanka) dan Pamban Island (India). Strukturnya  sangat mudah terlihat dari atas permukaan air laut karena kedudukannya yang tidak terlalu dalam.

 
Status jambatan ini masih merupakan misteri sehingga kini. Menurut tafsiran, Adam Bridge mempunyai kaitan dengan mitos terkenal India, Ramayana.

Yang bikin heboh, Srilankan Archeology Department mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan usia Adam Bridge mungkin berkisar diantara 1.000.000 hingga 2.000.000 tahun. Yang menjadi pertanyaan, apakah jambatan ini benar-benar terbentuk oleh proses alam atau ciptaan manusia?

S.U.Deraniyagala, Pengarah Pusat Arkeologi Sri Lanka yang juga merupakan pengarang buku “Early Man and the Rise of Civilization in Sri Lanka: the Archaeological Evidence mengatakan bahwa peradaban manusia telah muncul di Kaki Gunung Himalaya sekitar 2.000.000 tahun lalu.
Pertentangan: Menurut para sejarawan peradaban paling awal di benua India adalah peradaban bangsa Ca.


Para sarjana menaksirkan bahawa kemungkinan jambatan purba ini dibangunkan setelah daratan Sri Lanka terpisah daripada India jutaan tahun silam.


Epos Ramayana
Di dalam Epos Ramayana,jambatan itu dibangun oleh para pasukan manusia kera dibawah pengawasan Rama. Maksud dari pembangunannya sendiri ialah sebagai tempat penyeberangan menuju Negeri Alengka dalam misi untuk menyelamatkan Dewi Shinta, yang saat itu diculik oleh Rahwana, Raja Kerajaan Alengka.

Epos Ramayana, menurut Kalender Hindu seharusnya berada pada masa Tredha Yuga (menurut cakram masa evolusi hindu/ cakram Hinduism tentang Epos tersebut terbagi menjadi empat: Sathya (1.728.000 tahun), Tredha (1.296.000 tahun), Dwapara (864.000 tahun) dan Kali (432.000 tahun).





 
Sumber:
dunia-tersendiri

Minggu, 06 Januari 2013

Jawaban dari Mitos Korban Tenggelam di Pantai selatan Jawa

Mengenakan pakaian renang warna tertentu kabarnya bahaya kalau berenang di pantai selatan Jawa, bisa-bisa diambil anak buah Penguasa gaib Laut Selatan. Mitos ini telah berkembang sejak dulu, sehingga berakar kuat dalam kepercayaan masyarakat.

Memang seringkali laporan muncul banyak orang tenggelam atau terbawa arus yang tiba-tiba seperti menarik ke lautan lepas. Pantai-pantai wisata seperti Pelabuhan Ratu dan Parangtritis begitu akrab dengan kisah misterius semacam itu.

 
 
 
Sebenarnya ada jawaban secara ilmiah yang bisa menjawab mengapa hal itu bisa terjadi. Para praktisi ilmu kebumian mengamati pantai Parangtritis selama bertahun-tahun, dan akhirnya inilah kemungkinan yang jadi penyebab utama hilangnya sejumlah wisatawan di Pantai Parangtritis.

Rip current, yakni arus  balik yang merupakan aliran air gelombang datang yang membentur pantai dan kembali lagi ke laut. Arus itu bisa menjadi amat kuat karena biasanya merupakan akumulasi dari pertemuan dua atau lebih gelombang datang. Dengan kecepatan mencapai 80 kilometer per jam, arus balik itu tidak hanya kuat, tetapi juga mematikan.

Kepala Laboratorium Geospasial Parangtritis I Nyoman Sukmantalya mengatakan, sampai sekarang informasi mengenai rip current amat minim. Akibatnya, masyarakat masih sering mengaitkan peristiwa hilangnya korban di pantai selatan DI Yogyakarta dengan hal-hal yang berbau mistis.

“Bisa dibayangkan kekuatan seret arus balik beberapa kali lebih kuat dari terpaan ombak datang. Wisatawan yang tidak waspada dapat dengan mudah hanyut,” demikian papar Nyoman.

 
 
 
 
Celakanya, arus balik terjadi begitu cepat, bahkan dalam hitungan detik. Arus itu juga bukan hanya berlangsung di satu tempat, melainkan berganti-ganti lokasi sesuai dengan arah datangnya gelombang yang juga menyesuaikan dengan arah embusan angin dari laut menuju darat.

Nyoman melanjutkan, korban mudah terseret arus balik karena berada terlalu jauh dari bibir pantai. Ketika korban diterjang arus balik, posisinya akan mudah labil karena kakinya tidak memijak pantai dengan kuat. “Karena terseret tiba-tiba dan tidak bisa berpegangan pada apa pun, korban menjadi mudah panik, dan tenggelam karena kelelahan,” lanjutnya.

Sementara staf Ahli Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, Djati Mardianto, melanjutkan, apabila korban tetap tenang saat terseret arus, besar kemungkinan baginya untuk kembali ke permukaan. “Karena arus berputar di dasar laut sehingga materi di bawah bisa naik lagi,” ujar Djati.

Setelah mengapung, korban bisa berenang ke tepi laut, atau membiarkan diri terempas ke pantai oleh gelombang datang lain. Setidak-tidaknya, korban memiliki kesempatan untuk melambaikan tangan atau berteriak minta tolong.
 
 
 
 
 
 
Sumber: berita Bantul