Menurut hasil penelitian yang dilakukan psikolog dari University of Washington, orang Asia lebih sulit mengekspresikan rasa bahagianya serta susah untuk berpikiran positif karena percaya rasa bahgia itu akan cepat berlalu.
Tipikal budaya orang Asia bahwa hidup tidak hanya berisi kebahagiaan membuat mereka khawatir merayakan kebahagiaan secara berlebihan. Kebanyakan orang Asia percaya, selalu ada kesedihan sesudah merayakan kebahagiaan.
Survei yang dilakukan terhadap mahasiswa Asia menunjukkan tidak adanya hubungan emosi positif dengan penurunan kadar stres atau depresi. Hal ini terlihat berbeda dengan orang Eropa dan Amerika yang justru menunjukkan adanya kaitan emosi positif terhadap penurunan kadar stres dan depresi sehingga lebih ekspresif dalam mengungkapkan kebahagiaan.
Studi ini melibatkan 633 mahasiswa asal Asia, Amerika-Asia dan Eropa-Amerika. Penelitian ini untuk melihat perilaku ketika mengalami stres dan depresi, seberapa sering memiliki suasana hati yang sedih, merasa tidak berharga atau perubahan tidur dan nafsu makan.
Peserta juga dinilai intensitas emosi positif yang dirasakannya termasuk perasaan tenang, percaya diri, sukacita dan perhatian.
Hasilnya, didapatkan bahwa pada peserta Eropa-Amerika menunjukkan emosi positif atau berpikiran positif akan berdampak pada menurunnya tingkat depresi dan stres. Sedangkan pada kelompok Asia-Amerika hanya sedikit pengaruh emosi positif itu pada penurunan kadar stres.
Sebaliknya pada orang Asia murni sama sekali tidak ditemukan pengaruh emosi positif terhadap penurunan tingkat stres. Temuan ini menunjukkan bahwa orang-orang Asia menafsirkan dan memiliki reaksi emosi positif yang berbeda pada kesehatan mentalnya.
"Orang Asia beranggapan kebahagiaan yang muncul adalah sinyal sesuatu yang buruk akan terjadi selanjutnya, dan mereka percaya rasa bahagia tersebut akan cepat berlalu," ujar Janxin Leu.
Kurangnya pengaruh emosi positif terhadap ekspresi bahagia pada orang Asia diduga karena sebagian besar orang Asia selalu berpegangan pada prinsip Yin dan Yang, yang menanamkan keseimbangan alami untuk hal baik dan buruk.
Kondisi ini pula yang turut mempengaruhi orang Asia untuk sulit mengekspresikan kebahagiaan dan pikiran positifnya.
"Jadi terapi yang mengandalkan emosi dan berpikir positif pada orang barat mungkin tidak akan cocok digunakan untuk orang Asia dan bisa saja membuat pasien merasa lebih buruk," ungkap Leu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar